Wednesday, June 20, 2018

CINTA SEORANG SKIZOFERNIA - TUKANG KEBUN SEKOLAH

Assalamualaikum ManTeman 🙇

Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇

Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html
1. Kelulusan 👉  http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-kelulusan.html
2. SMA  👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-sma.html
3. Persiapan Pindahan 👉 https://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-persiapan.html?showComment=1527177845795#c1682519686773399213 
4. Pindahan 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.com/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-pindahan.html
5. Sekolah Baru 👉http://catatanaanakrantau.blogspot.com/2018/06/cinta-seorang-skizofernia-sekolah-baru.html?m=1
6. Ibu Penjaga UKS 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.com/2018/06/cinta-seorang-skizofernia-ibu-penjaga.html?m=1

7. TUKANG KEBUN SEKOLAH

Hari itu langit sedang mendung, ntah kenapa ingin saja duduk di depan kelas saat bel istirahat berbunyi.



Saat aku mencoba bangkit dari bangku ku, Toni langsung berkata “tumben… ke kantin yah?” semenjak aku menceritakan tentang Ibu penjaga UKS dia memang jadi sering berbincang dengan ku.



“Nggak ku, ke depan kelas aja” jawab ku.



“Ngapain? Ke kantin aja yok” ajak Toni.

“Nggak ah… rame” jawab ku singkat “aku ke depan dulu yah”.

“Yaudah, aku ke kantin kalau gitu” kata Toni dengan kekecewaannya.

Aku lalu berjalan ke depan kelas. Kulihat sekeliling sekolah, banyak sekali anak yang lalu – lalang di sana. Aku lalu duduk di kursi panjang menghadap ke lapangan.

Dari sekian banyak orang yang berlalu lalang di lapangan itu, mata ku terfokus pada bapak – bapak setengah baya yang sedang memegang celurit. Siapa bapak itu? Apa tukang kebun sekolah? Aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut.

Aku masih saja focus melihat bapak itu memotong rumput. Mungkin marena sadar ada yang memperhatikan, bapak itu langsung memandang ke arah ku. Matanya memplototi ku dan hal itu benar – benar membuat aku takut. Aku berusaha untuk tidak melihatnya lagi, tapi saat kuarahkan mata ku ke arahnya dia sedang berjalan ke arah ku. Apa dia marah karena ku perhatikan? Aku tiba – tiba ketakutan.

“Hey Cin...” suara Toni mengagetkan ku.

“Ke… kenapa?” tanya ku dengan terbata – bata.

“Kamu yang kenapa? Ngelamun aja” kata Toni.

“Nggak Ton…” jawab ku, aku lalu melihat kea rah Bapak tadi. Tapi dia sudah pergi ke arah yang berlawanan. Mungkin karena kehadiran Toni.

“Yuk masuk, udah bell tuh” ajak Toni.

Saking asiknya aku memperhatikan tukang kebun itu, aku sampai tidak mendengar bunyi bell sedikitpun. “Yuk” kata ku ke Toni, kami lalu masuk ke dalam kelas.

Fikiran ku masih pada Bapak tukang kebun itu dan itu sukses membuat ku tidak focus pada jam pelajaran terakhir ini.

Karena tidak focus, aku jadi terlambat mengerjakan tugas, terpaksa tuga teman – teman ku di kumpul di meja dan aku yang akan mengantarkannya ke ruang guru. Saat itu sekolah udah mulai sepi dan aku masih mengerjakan tugas ditemani Toni.

“Masih lama yah Cin?” tanya Toni.

“Dikit lagi Ton, kamu kalau mau pulang deluan nggak apa – apa kok” jawab ku.

“Nggak lah, aku nungguin kok. Tapi aku ke kantin bentar yah. Haus nih. Kamu mau nitip nggak?” tanya Toni.

“Aqua aja deh” jawab ku. Toni lalu meninggalkan ku sendiri di kelas.

Akhirnya selesai juga. Ku gabung tugas ku dengan tugas teman – teman. Tapi, Toni belum balik juga. Sudahlah, aku lalu mengantarkan tugas itu ke ruang guru. Tas masih ku tinggal di kelas agar Toni tahu kalau aku belum pulang.

Ruang gurupun sudah sepi. Kuletakkan tugas kami di atas meja salah seorang guru. Setelah itu aku langsung keluar dari ruangan itu. 

Saat menutup pintu ruang guru, aku melihat Bapak tukang kebun itu lagi. Saat ini dia membawa sebuah pisau. Apa yang diinginkannya? Dengan cepat dia berjalan ke arah ku, aku semakin takut dibuatnya.

Kaki ku bergetar hingga sulit rasanya untuk berlari. Ku kumpulkan seluruh tenaga ku dan berlari sebisa yang aku bisa. Bapak itu juga semakin cepat dan langkah cepatnya itu berubah jadi lari.

Aku benar – benar takut. Aku tidak tahu apa yang diinginkan Bapak itu. Tapi, tak ada satupun orang di situ dan Bapak itu membawa pisau. Jika terjadi apa – apa, tak ada seorangpun yang bisa membantu ku.

Aku hanya berusaha lari sekuat tenaga kea rah kelas dengan harapan sudah ada Toni di sana. Saat tiba di kelas ternyata Toni belum ada. Ku tutup rapat pintu kelas dan berharap Bapak itu tidak mengejar ku sampai ke dalam kelas.

“Tok… Tok… Tok…” suara pintu di ketok dari luar. Apa itu Bapak tukang kebun? Aku benar – benar takut sampai terdengar sura “Cin… bukalah… ngapain kamulari – lari di koridor, pake kunci pintu segala lagi” itu suara Toni.

Langsung saja ku buka pintu dan ternya memang Toni. Aku reflex memeluknya dan menangis. Karena heran, Toni lalu berkata “Loh… kok nangis? Kamu kenapa Cin? Tugasnya ga diterima yah?”

“Ba… Bapak… Tu tut tukang… Keb Kebun… it itu” kata ku sambil menangis.

“Tukang kebun mana? Nggak ada orang kok Cin… udah kamu tenang dulu yah, ini minum dulu” kata Toni yang berusaha menenangi ku.

Aku lalu minum dan berusaha menengkan diri.

“Ku antar pulang yah” kata Toni.

“Makasih Ton” jawab ku. Mungkin kalau tidak ada Toni Bapak itu duah mengejar ku sampai ke dalam kelas. Aku benar – benar berhutang budi pada Toni.

***

Selesai juga, pelajaran Sejarah memang selalu membuat kami mencatata satu buku. Rasanya guru itu tidak kenal sama yang namanya fotocopy yah. Jari – jari ku sampai penyok diabuatnya.

“Cin… udah beres?” tanya ku ke Cinta.

“Duh… masih banyak Ton. Bilang ke anak – anak biar aku aja yang bawa ke ruang guru” jawab Cinta. Dari tadi dia memang hanya melamun dan baru mulai menulis.

“Ok deh” jawab ku ke Cinta. Aku lalu member tahu anak – anak untuk pulang deluan aja karena bell memang sudah berbunyi.

Satu per satu anak – anak pulang dan akhirnya tinggal aku dan Cinta saja di dalam kelas itu. Aku tidak mungkin tega meninggalkan Cinta sendirian dalam kelas itu. Tapi, disatu sisi aku juga haus.

“Cin… masih lama yah?” tanya ku ke Cinta. Tapi Cinta malah menyuruh ku untuk pulang deluan saja dan ku katakan kalau aku hanya ke kantin sebentar untuk membeli minum. Cinta pun menitip aqua juga pada ku.

Aku lalu meninggalkan Cinta sendiri di dalam kelas. Kulangkahkan kaki ku menuju kantin. Sekolah sudah sepi, hanya ada satu dua orang anak yang juga hendak pulang.

Saat aku tiba di kantin ternyata kantinpun sudah tutup. Akhirnya aku memutuskan untuk ke swalayan di depan sekolah. “Apa Cinta tidak apa – apa jika ku tinggal sendiri?” fikiran itu masuk begitu saja dalam otak ku. Tapi, tak ada yang perlu ditakutkan di sekolah ini. Aku lalu melanjutkan perjalanan ku.


Cukup lama aku meninggalkan Cinta, aku hanya berharap dia belum pulang saja. Jarak antara swalayan memang tidak terlalu jauh, tapi itu cukup memakan waktu juga dibandingkan aku ke kantin.

Saat hampir sampai di depan kelas, kulihat Cinta sedang berlari ketakutan. Apa yang terjadi padanya? Cinta masuk ke dalam kelas dan pintu kelas langsung di kunci. Aku benar – benar penasaran.

Kupercepat langkah ku menuju kelas dan mengetok pintu kelas. Pintu baru dibuka saat aku berbicara. Saat pintu di buka, Cinta langsung memeluk ku dan menangis. Kenapa Cinta menangis? Aku semakin bingung dan tidak tahu apa yang mesti aku lakukan dengan kondisi seperti itu.

Aku berusaha menenangkannya, tapi dia berkata Bapak Tukang Kebun? Mana ada tukang kebun di sekolah kami? Karena tidak ingin membuatnya semakin panic, aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

Aku membantunya membereskan barang – barangnya dan kamipun meninggalkan kelas itu. Sepanjang perjalanan menuju gerbang. Cinta benar – benar terlihat ketakutan. Saat keluar dari lingkungan sekolah, barulah Cinta terlihat sedikit tenang.
***
 
Share:

0 komentar:

Post a Comment