Assalamualaikum ManTeman 🙇
Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇
Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html
1. Kelulusan 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-kelulusan.html
2. SMA 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-sma.html
3. Persiapan Pindahan 👉 https://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-persiapan.html?showComment=1527177845795#c1682519686773399213
Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇
Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html
1. Kelulusan 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-kelulusan.html
2. SMA 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-sma.html
3. Persiapan Pindahan 👉 https://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-persiapan.html?showComment=1527177845795#c1682519686773399213
4. Pindahan
Setelah
ujian semester, tibalah saat dimana aku akan pindah ke Sumatra. Sebenarnya aku
tidak memusingkan masalah pindahan ini, hanya saja dengan pindah ke Sumatra aku
akan kehilangan sosok sahabat yang selalu ada untuk ku. Iya sih, Tiara memang
bilang kalau dia akan mengusahakan untuk ikut pindah juga. Tapi, untuk ukuran
anak yang masih kelas 1 SMA jarang sekali ada orang tua yang mengiyakan hal
tersebut.
Sore itu
sehari sebelum aku berangkat ke Sumatra. Seperti biasa Tiara datang ke rumah.
Aku benar – benar ingin menangis saat itu, tapi Tiara selalu menguatkan ku.
Rasanya sangat sulit untuk aku meninggalkannya.
“Ra…
besok aku berangkat” kata ku ke Tiara, padahal sih Tiara udah tahu hal itu.
“Kamu
udah ngulang kalimat itu berkali – kali Cin…” keluh Tiara pada ku.
“Ra…
nanti kita nggak ketemu lagi dong?” tanya ku ke Tiara.
“Tenang
aja, kita pasti ketemu kok. Kalau kita nggak ketemu, kamu pasti bakalan dapat
teman yang jauh lebih baik dari ku” sepertinya Tiara mencoba untuk menghibur
ku.
“Nggak
Ra… sejauh ini kamulah teman terbaik ku” kata ku ke Tiara.
“Kan
belum Cin…” kata Tiara.
Banyak
hal yang kami perbincangkan sore itu, termaksud kemungkinan – kemungkinan untuk
bertemu. Ku katakan pada Tiara kalau dia tidak bisa menyusul ku, lulus SMA aku
akan kuliah di Surabaya bagaimanapun caranya.
“Ke
kamar yuk Ra…” ajak ku ke Tiara.
“Tumben
hahaha” kata Tiara sambil tertawa. Memang sih, sebelumnya kami hanya bermain di
teras saja.
“Nggak
apa – apa, kamar ku lagi rapih soalnya. Kan barangnya udah ludes hahaha” jawab
ku yang juga sambil tertawa.
Aku
jalan deluan, di depan tv ada Ibu yang sedang membaca buku tapi tidak ku
hiraukan. “Ayok Ra…” kata ku Tiara yang masih berdiri depan pintu.
“Iya…
iya…” jawab Tiara.
Ibu lalu
melihat ku, mungkin suara ku mengagetkannya “Bicara dengan siapa Nak?” tanya
Ibu ku.
“Nggak
apa – apa Bu” jawab ku ke Ibu, lalu ku tarik tangan Tiara masuk ke kamar.
“Lah…
itu baju mau di tinggal begantung aja di situ?” tanya Tiara saat melihat
seragam SMA dengan tanda tangannya bergantu di dinding kamar ku.
“Itu
terakhir aja di masukkin, senang aja aku lihatnya” jawab ku dengan singkat.
Selanjutnya
kami hanya melakukan perbincangan – perbincangan ringan dan tertunya di bumbuhi
dengan tawa dan canda diantara kami.
***
Ini
merupakan dua bulan yang sangat melelahkan bagi saya. Kami memang sudah
terbiasa tinggal berpindah – pindah, tapi saya tidak menyangka bahwa hanya
dalam jangka satu setengah tahun barang kami bisa sangat banyak.
Sehari
sebelum kami berangkat ke Sumatera, maksud saya saya dan Cinta. Yah… suami saya
tidak bisa turut membantu kami pindahan. Saya membaca beberapa pesan singkat
dari Doni dan Farid yang meminta maaf karena tidak bisa membantu kami pindahan.
Kedua anak saya itu memang sama sibuknya dengan Ayahnya.
Setelah
membalas pesan singkat dengan kata – kata penyemangat dari seorang Ibu, saya
membaca buku bacaan di depan tv yang sudah tidak ada barang lagi selain tv dan
sofa yang memang akan kami tinggalkan untuk menghuni setelahnya.
Selagi
asik membaca Cinta masuk, yahh dari tadi dia memang di teras seperti biasanya.
Sebenarnya saya tidak menyadari kehadiran Cinta, tapi anak itu tiba – tiba saja
berseru “Ayok Ra…”, tapi saat ku tanya jawabannya seperti biasa “Tidak apa –
apa”. Saya mendengar dengan jelas dia berseru yang ntah dengan siapa. Walau
saya sedang focus pada buku bacaan, tapi saya yakin Cinta seperti sedang
mengajak seseorang dan dalam kenyataannya tak ada satupun orang selain kami
berdua di ruangan itu.
Firasat
saya tentang Cinta semakin buruk. Saya benar – benar khawatir saat itu. Hanya
ada dua hal dalam fikiran saya, pertama Cinta bermain dengan makhluk halus, dan
yang kedua Cinta mengalami gangguan kejiwaan. Tapi, dua hal itu bukan hal yang
bagus.
Diam –
diam saya mengintip ke kamar Cinta yang pintunya terbuka sedikit. Dengan jelas
saya bisa melihat Cinta sedang bercakap – capak dengan seseorang, tapi tak ada
orang selain Cinta di kamar itu.
Jantung
saya berdebar sangat cepat saat itu. Sampai kaki sayapun ikut bergetar. Ku buka
pintu kamar itu untuk memastikan tidak ada orang di ruangan itu selain Cinta.
“Apa sih
Bu… ngagetin aja ih” eluh Cinta pada saya.
Saya
bingung mau berbicara seperti apa, tapi tindakan saya sudah diluar control “apa
yang kamu lakukan?” tanya saya dengan nada tinggi.
“Ci…
Cinta hanya ngobrol ba… bareng Tiara” jawab Cinta dengan suara bergetar,
sepertinya dia kaget dengan nada suara ku.
Tiara?
Bukannya itu nama temannya yang pernah menitip salam untuk saya? Astaga… Tiara
yang saya fikir teman Cinta adalah makhluk yang ntah seperti apa bentuknya.
Saya lalu kembali berkomentar “Tiara siapa? Mana ada orang di sini Cinta?”
“Iya Ra…
Sorry yah” kata Cinta dengan suara seperti sedikit berbisik.
“Kamu
ngomong dengan siapa?” tanya saya dengan suara yang semakin tinggi dan lantang.
“Apa sih
Bu? Tiara yah teman Cinta lah… Tiarakan sering datang tiap sore. Ibu ini kenapa
sih?” tanya Cinta pada saya.
“Ibu
tidak pernah melihat kamu bersama teman mu tiap sore Cinta” jelas saya pada
Cinta.
“Emang
Ibu pernah memperhatikan ku? Tidak kan? Ibu hanya sibuk dengan karir Ibu saja”
sepertinya Cinta marah dengan saya. Kalimat itu keluar dari mulutnya dengan
penuh nada emosi yang memang benar.
Ah… apa
yang saya lakukan. Kenapa saya memarahinya. Seketika itu timbul rasa bersalah
dari dalam diri saya. Saya lalu memelankan intonasi suara saya “maafkan Ibu
Cinta… Ibu hanya ingin mengatakan kalau Tiara itu tidak ada Nak”.
“Apa sih
Bu…” Cinta lalu mengambil baju seragam yang ia gantung di dinding kamarnya,
“Ini apa? Ini tanda tangan Tiara Bu… Hanya Tiara yang mau menandatangani baju
kelulusan ku” kata Cinta sambil menunjuk seragamnya yang sama sekali tak ada
tanda tangan apapun di situ.
Saya lalu
mengingat tanda tangan Cinta di tiang teras. Ada apa dengan anak saya ini. Saya
benar – benar tidak bisa mengeluarkan pendapat lagi kepada Cinta. Saya hanya
terdiam dan meninggalkan kamar itu.
***
Ibu tiba
– tiba membuka pintu kamar ku dengan lebar, hingga menimbulkan suara yang
sedikit lantang. Hal tersebut membuat ku dan Tiara menjadi kaget. Apa yang
terjadi dengan Ibu? Dia tiba – tiba marah – marah dengan ku, Ibu mempertanyakan
apa yang sedang ku lakukan. Jelas – jelas aku hanya bercanda ria dengan Tiara,
tak ada sedikitpun tindakan negative yang kami lakukan.
Mungkin
karena Tiara melihat kadaan sedang buruk, Tiara lalu berbisik kepada ku “Cin…
aku pulang aja yah”.
“Iya Ra…
Sorry yah…” ku jawab dengan berbisik juga. Aku benar – benar tidak enak rasa
pada Tiara, padahal ini bisa jadi pertemuan kami yang terakhir. Tapi, Ibu
merusak kebahagiaan kami. Aku benar – benaar benci dengan Ibu.
Ibu
melanjutkan omelannya. Dikatakannya kalau Tiara itu tidak ada. Ibu ini
berbicara apa sih, jelas – jelas tadi Tiara ada di kamar ini. Karena aku juga
jadi termakan emosi, ku ungkapkan segala uneg – uneg yang kurasakan pada Ibu.
Aku
mengatakan bahwa Ibu yang terlalu sibuk hingga lupa untuk memperhatikan ku.
Yahh… itu memang benar, tapi tidak sepantasnya aku mengungkapkan kalimat itu.
Bisa saja hatinya terluka.
Benar
saja, Ibu lalu memelankan intonasi suaranya, tapi Ibu tetap mengatakan kalau
Tiara itu tidak ada. Karena semakin kesal, kuambil baju seragam SMP ku untuk
membuktikan bahwa Tiara itu ada. Ku tunjukkan tanda tangan Tiara pada baju
tersebut.
Ibu lalu
terdiam dan meninggalkan ku sendiri di kamar. Ibu mungkin sudah menyadari
kekeliruannya. Jelas saja Tiara itu ada, Tiara adalah teman ku, sahabat ku.
Lebih tepatnya satu – satu nya orang yang mau berkawan dengan ku. Kenapa Ibu
malah mengatakan hal yang aneh?
Aku
sedih, marah, kesal, pokoknya semua emosi campur aduk. Ku tutup kamar ku, lalu
ku benamkan wajah ku pada bantal dan menangis sebisa ku. Hingga akhirnya akupun
tertidur.
***
Ingin
rasanya saya menghubungi suami. Tapi, itu hal yang mustahil, dia lagi di tengah
laut. Bagaimana saya bisa mengabarkannya. Fikiran mengenai Cinta benar – benar
menggangu saya sore itu.
Di malam
harinya saya mencoba untuk menetralkan suasana dengan Cinta. Yah… saya harus
lebih dewasa dari anak saya sendiri. Saya masuk ke dalam kamar Cinta, ternyata
anak itu tertidur. Sepertinya dia menangis, rasanya tak tega untuk
membangunkannya.
Saya mengusap rambut panjangnya. Rasanya lama
sekali saya tidak melakukan ini. Cinta benar, saya terlalu sibuk dengan urusan
saya sendiri.
“Maafkan
Ibu Nak… semoga kamu tumbuh menjadi anak yang baik. Ya Tuhan… jaga anak saya
ini” kalimat itu keluar begitu saja dari mulut saya.
Saya
lalu menarik selimut dan menutupi tubuhnya, lalu mematikan lampu dan keluar
dari kamar tersebut.
Rasanya sangat sulit untuk memejamkan mata
malam itu. Tapi, esok pagi kami harus berangkat dan saya tentunya membutuhkan
tenaga untuk itu. Dengan penuh paksaan, saya mencoba untuk menutup mata.
***
Sudah
pagi ternyata. Apa semalam aku mimpi? Tidak, masih ada bekas air mata yang mengering
di pipi ku. Tapi, apa Ibu masuk ke kamar ku yah? Aku merasa seperti ada yang
menyelimuti ku malam tadi? Apa aku mengigau? Ntahlah.
“Cinta…
bangun Nak… kita harus ke bandara pagi ini” teriak Ibu dari luar kamar ku.
Ah iya…
hari ini adalah hari pindahan “Iya Bu” teriak ku membalas kalimat Ibu tadi. Aku
lalu bangkit dari tempat tidur, mandi dan sedikit berdandan pokoknya.
Setelah
siap – siap, ku masukkan beberapa barang ke dalam koper. Termaksud baju seragam
SMA ku yang sudah ditanda tangani oleh Tiara. Ah iya… Tiara, dimana dia?
Rasanya
waktu berjalan begitu saja. Aku dan Ibu bertindak sewajarnya seperti tidak
terjadi apa – apa di antara kami. Memang wajar menurut kami yah saling diam –
diaman. Jadi, ada masalah atau tidak tetap terlihat seperti ada masalah.
Saat
perjalanan ke bandara, ku lihat Tiara berdiri di pinggir jalan dan melambaikan
tangan ke arah mobil yang ku tumpangi. Karena aku menyadarinya saat ia sudah
jauh, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan.
Sampailah
masa dimana aku harus kembali berpindah ke kota lain. Mungkin ini akan jadi
kota terakhir ku, kecuali aku memutuskan untuk merantau sendiri. Selamat
tinggal Surabaya, selamat tinggal Tiara.
Dengan
cepat pesawat menarik dirinya dari pulau jawa dan berlahan mendekati pulau
Sumatra. Dan, di sini lah aku sekarang. Hi Sumatra, ku harap ada anak seperti
Tiara di sini.
“Maafkan
Cinta Bu” kata ku pada Ibu saat pesawat mendarat di Sumatra.
“Maafkan
Ibu juga Nak” jawab Ibu.
Lalu,
kami melanjutkan perjalanan kami menuju rumah baru, bukan sebenarnya ini rumah
lama. Mungkin lebih tepat jika di sebut rumah yang baru kami tempati lagi.
***