Tuesday, May 29, 2018

CINTA SEORANG SKIZOFERNIA - PINDAHAN

Assalamualaikum ManTeman 🙇

Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇

Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html
1. Kelulusan 👉  http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-kelulusan.html
2. SMA  👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-sma.html
3. Persiapan Pindahan 👉 https://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-persiapan.html?showComment=1527177845795#c1682519686773399213 


4. Pindahan

Setelah ujian semester, tibalah saat dimana aku akan pindah ke Sumatra. Sebenarnya aku tidak memusingkan masalah pindahan ini, hanya saja dengan pindah ke Sumatra aku akan kehilangan sosok sahabat yang selalu ada untuk ku. Iya sih, Tiara memang bilang kalau dia akan mengusahakan untuk ikut pindah juga. Tapi, untuk ukuran anak yang masih kelas 1 SMA jarang sekali ada orang tua yang mengiyakan hal tersebut.

Sore itu sehari sebelum aku berangkat ke Sumatra. Seperti biasa Tiara datang ke rumah. Aku benar – benar ingin menangis saat itu, tapi Tiara selalu menguatkan ku. Rasanya sangat sulit untuk aku meninggalkannya.

“Ra… besok aku berangkat” kata ku ke Tiara, padahal sih Tiara udah tahu hal itu.


“Kamu udah ngulang kalimat itu berkali – kali Cin…” keluh Tiara pada ku.

“Ra… nanti kita nggak ketemu lagi dong?” tanya ku ke Tiara.

“Tenang aja, kita pasti ketemu kok. Kalau kita nggak ketemu, kamu pasti bakalan dapat teman yang jauh lebih baik dari ku” sepertinya Tiara mencoba untuk menghibur ku.

“Nggak Ra… sejauh ini kamulah teman terbaik ku” kata ku ke Tiara.

“Kan belum Cin…” kata Tiara.

Banyak hal yang kami perbincangkan sore itu, termaksud kemungkinan – kemungkinan untuk bertemu. Ku katakan pada Tiara kalau dia tidak bisa menyusul ku, lulus SMA aku akan kuliah di Surabaya bagaimanapun caranya.

“Ke kamar yuk Ra…” ajak ku ke Tiara.

“Tumben hahaha” kata Tiara sambil tertawa. Memang sih, sebelumnya kami hanya bermain di teras saja.

“Nggak apa – apa, kamar ku lagi rapih soalnya. Kan barangnya udah ludes hahaha” jawab ku yang juga sambil tertawa.

Aku jalan deluan, di depan tv ada Ibu yang sedang membaca buku tapi tidak ku hiraukan. “Ayok Ra…” kata ku Tiara yang masih berdiri depan pintu.

“Iya… iya…” jawab Tiara.

Ibu lalu melihat ku, mungkin suara ku mengagetkannya “Bicara dengan siapa Nak?” tanya Ibu ku.

“Nggak apa – apa Bu” jawab ku ke Ibu, lalu ku tarik tangan Tiara masuk ke kamar.

“Lah… itu baju mau di tinggal begantung aja di situ?” tanya Tiara saat melihat seragam SMA dengan tanda tangannya bergantu di dinding kamar ku.

“Itu terakhir aja di masukkin, senang aja aku lihatnya” jawab ku dengan singkat.

Selanjutnya kami hanya melakukan perbincangan – perbincangan ringan dan tertunya di bumbuhi dengan tawa dan canda diantara kami. 

***


Ini merupakan dua bulan yang sangat melelahkan bagi saya. Kami memang sudah terbiasa tinggal berpindah – pindah, tapi saya tidak menyangka bahwa hanya dalam jangka satu setengah tahun barang kami bisa sangat banyak.
 
Sehari sebelum kami berangkat ke Sumatera, maksud saya saya dan Cinta. Yah… suami saya tidak bisa turut membantu kami pindahan. Saya membaca beberapa pesan singkat dari Doni dan Farid yang meminta maaf karena tidak bisa membantu kami pindahan. Kedua anak saya itu memang sama sibuknya dengan Ayahnya.
 

Setelah membalas pesan singkat dengan kata – kata penyemangat dari seorang Ibu, saya membaca buku bacaan di depan tv yang sudah tidak ada barang lagi selain tv dan sofa yang memang akan kami tinggalkan untuk menghuni setelahnya.

Selagi asik membaca Cinta masuk, yahh dari tadi dia memang di teras seperti biasanya. Sebenarnya saya tidak menyadari kehadiran Cinta, tapi anak itu tiba – tiba saja berseru “Ayok Ra…”, tapi saat ku tanya jawabannya seperti biasa “Tidak apa – apa”. Saya mendengar dengan jelas dia berseru yang ntah dengan siapa. Walau saya sedang focus pada buku bacaan, tapi saya yakin Cinta seperti sedang mengajak seseorang dan dalam kenyataannya tak ada satupun orang selain kami berdua di ruangan itu.

Firasat saya tentang Cinta semakin buruk. Saya benar – benar khawatir saat itu. Hanya ada dua hal dalam fikiran saya, pertama Cinta bermain dengan makhluk halus, dan yang kedua Cinta mengalami gangguan kejiwaan. Tapi, dua hal itu bukan hal yang bagus.

Diam – diam saya mengintip ke kamar Cinta yang pintunya terbuka sedikit. Dengan jelas saya bisa melihat Cinta sedang bercakap – capak dengan seseorang, tapi tak ada orang selain Cinta di kamar itu.

Jantung saya berdebar sangat cepat saat itu. Sampai kaki sayapun ikut bergetar. Ku buka pintu kamar itu untuk memastikan tidak ada orang di ruangan itu selain Cinta.

“Apa sih Bu… ngagetin aja ih” eluh Cinta pada saya.

Saya bingung mau berbicara seperti apa, tapi tindakan saya sudah diluar control “apa yang kamu lakukan?” tanya saya dengan nada tinggi.

“Ci… Cinta hanya ngobrol ba… bareng Tiara” jawab Cinta dengan suara bergetar, sepertinya dia kaget dengan nada suara ku.

Tiara? Bukannya itu nama temannya yang pernah menitip salam untuk saya? Astaga… Tiara yang saya fikir teman Cinta adalah makhluk yang ntah seperti apa bentuknya. Saya lalu kembali berkomentar “Tiara siapa? Mana ada orang di sini Cinta?”

“Iya Ra… Sorry yah” kata Cinta dengan suara seperti sedikit berbisik.

“Kamu ngomong dengan siapa?” tanya saya dengan suara yang semakin tinggi dan lantang.

“Apa sih Bu? Tiara yah teman Cinta lah… Tiarakan sering datang tiap sore. Ibu ini kenapa sih?” tanya Cinta pada saya.

“Ibu tidak pernah melihat kamu bersama teman mu tiap sore Cinta” jelas saya pada Cinta.

“Emang Ibu pernah memperhatikan ku? Tidak kan? Ibu hanya sibuk dengan karir Ibu saja” sepertinya Cinta marah dengan saya. Kalimat itu keluar dari mulutnya dengan penuh nada emosi yang memang benar.

Ah… apa yang saya lakukan. Kenapa saya memarahinya. Seketika itu timbul rasa bersalah dari dalam diri saya. Saya lalu memelankan intonasi suara saya “maafkan Ibu Cinta… Ibu hanya ingin mengatakan kalau Tiara itu tidak ada Nak”.

“Apa sih Bu…” Cinta lalu mengambil baju seragam yang ia gantung di dinding kamarnya, “Ini apa? Ini tanda tangan Tiara Bu… Hanya Tiara yang mau menandatangani baju kelulusan ku” kata Cinta sambil menunjuk seragamnya yang sama sekali tak ada tanda tangan apapun di situ.

Saya lalu mengingat tanda tangan Cinta di tiang teras. Ada apa dengan anak saya ini. Saya benar – benar tidak bisa mengeluarkan pendapat lagi kepada Cinta. Saya hanya terdiam dan meninggalkan kamar itu.

***

Ibu tiba – tiba membuka pintu kamar ku dengan lebar, hingga menimbulkan suara yang sedikit lantang. Hal tersebut membuat ku dan Tiara menjadi kaget. Apa yang terjadi dengan Ibu? Dia tiba – tiba marah – marah dengan ku, Ibu mempertanyakan apa yang sedang ku lakukan. Jelas – jelas aku hanya bercanda ria dengan Tiara, tak ada sedikitpun tindakan negative yang kami lakukan.



Mungkin karena Tiara melihat kadaan sedang buruk, Tiara lalu berbisik kepada ku “Cin… aku pulang aja yah”.

“Iya Ra… Sorry yah…” ku jawab dengan berbisik juga. Aku benar – benar tidak enak rasa pada Tiara, padahal ini bisa jadi pertemuan kami yang terakhir. Tapi, Ibu merusak kebahagiaan kami. Aku benar – benaar benci dengan Ibu.

Ibu melanjutkan omelannya. Dikatakannya kalau Tiara itu tidak ada. Ibu ini berbicara apa sih, jelas – jelas tadi Tiara ada di kamar ini. Karena aku juga jadi termakan emosi, ku ungkapkan segala uneg – uneg yang kurasakan pada Ibu.

Aku mengatakan bahwa Ibu yang terlalu sibuk hingga lupa untuk memperhatikan ku. Yahh… itu memang benar, tapi tidak sepantasnya aku mengungkapkan kalimat itu. Bisa saja hatinya terluka.

Benar saja, Ibu lalu memelankan intonasi suaranya, tapi Ibu tetap mengatakan kalau Tiara itu tidak ada. Karena semakin kesal, kuambil baju seragam SMP ku untuk membuktikan bahwa Tiara itu ada. Ku tunjukkan tanda tangan Tiara pada baju tersebut.

Ibu lalu terdiam dan meninggalkan ku sendiri di kamar. Ibu mungkin sudah menyadari kekeliruannya. Jelas saja Tiara itu ada, Tiara adalah teman ku, sahabat ku. Lebih tepatnya satu – satu nya orang yang mau berkawan dengan ku. Kenapa Ibu malah mengatakan hal yang aneh?

Aku sedih, marah, kesal, pokoknya semua emosi campur aduk. Ku tutup kamar ku, lalu ku benamkan wajah ku pada bantal dan menangis sebisa ku. Hingga akhirnya akupun tertidur.
***


Ingin rasanya saya menghubungi suami. Tapi, itu hal yang mustahil, dia lagi di tengah laut. Bagaimana saya bisa mengabarkannya. Fikiran mengenai Cinta benar – benar menggangu saya sore itu.

Di malam harinya saya mencoba untuk menetralkan suasana dengan Cinta. Yah… saya harus lebih dewasa dari anak saya sendiri. Saya masuk ke dalam kamar Cinta, ternyata anak itu tertidur. Sepertinya dia menangis, rasanya tak tega untuk membangunkannya.

Saya  mengusap rambut panjangnya. Rasanya lama sekali saya tidak melakukan ini. Cinta benar, saya terlalu sibuk dengan urusan saya sendiri.

“Maafkan Ibu Nak… semoga kamu tumbuh menjadi anak yang baik. Ya Tuhan… jaga anak saya ini” kalimat itu keluar begitu saja dari mulut saya.

Saya lalu menarik selimut dan menutupi tubuhnya, lalu mematikan lampu dan keluar dari kamar tersebut.

Rasanya sangat sulit untuk memejamkan mata malam itu. Tapi, esok pagi kami harus berangkat dan saya tentunya membutuhkan tenaga untuk itu. Dengan penuh paksaan, saya mencoba untuk menutup mata.
***

Sudah pagi ternyata. Apa semalam aku mimpi? Tidak, masih ada bekas air mata yang mengering di pipi ku. Tapi, apa Ibu masuk ke kamar ku yah? Aku merasa seperti ada yang menyelimuti ku malam tadi? Apa aku mengigau? Ntahlah.

“Cinta… bangun Nak… kita harus ke bandara pagi ini” teriak Ibu dari luar kamar ku.

Ah iya… hari ini adalah hari pindahan “Iya Bu” teriak ku membalas kalimat Ibu tadi. Aku lalu bangkit dari tempat tidur, mandi dan sedikit berdandan pokoknya.

Setelah siap – siap, ku masukkan beberapa barang ke dalam koper. Termaksud baju seragam SMA ku yang sudah ditanda tangani oleh Tiara. Ah iya… Tiara, dimana dia?

Rasanya waktu berjalan begitu saja. Aku dan Ibu bertindak sewajarnya seperti tidak terjadi apa – apa di antara kami. Memang wajar menurut kami yah saling diam – diaman. Jadi, ada masalah atau tidak tetap terlihat seperti ada masalah.

Saat perjalanan ke bandara, ku lihat Tiara berdiri di pinggir jalan dan melambaikan tangan ke arah mobil yang ku tumpangi. Karena aku menyadarinya saat ia sudah jauh, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan.

Sampailah masa dimana aku harus kembali berpindah ke kota lain. Mungkin ini akan jadi kota terakhir ku, kecuali aku memutuskan untuk merantau sendiri. Selamat tinggal Surabaya, selamat tinggal Tiara.

Dengan cepat pesawat menarik dirinya dari pulau jawa dan berlahan mendekati pulau Sumatra. Dan, di sini lah aku sekarang. Hi Sumatra, ku harap ada anak seperti Tiara di sini.

“Maafkan Cinta Bu” kata ku pada Ibu saat pesawat mendarat di Sumatra.

“Maafkan Ibu juga Nak” jawab Ibu.

Lalu, kami melanjutkan perjalanan kami menuju rumah baru, bukan sebenarnya ini rumah lama. Mungkin lebih tepat jika di sebut rumah yang baru kami tempati lagi.
***
 
Share: