Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇
Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html
1. Kelulusan 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-kelulusan.html
2. SMA
Tiba juga hari dimana aku menggunakan seragam putih abu – abu. Kata orang sih masa – masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Akankan aku mendapatkan masa yang menyenangkan itu di sekolah ini? Ah… sepertinya tidak, aku hanya akan ada enam bulan di sekolah ini.
Aku
benar – benar tidak berniat membangun relasi yang lebih dengan teman – teman di
sekolah ini. Terlebih lagi sebagian besar dari mereka adalah teman – teman SMP
ku. Aku memang tidak mengingat namanya, tapi beberapa wajah nampak tidak asing
bagi ku. Ah… terserahlah dengan mereka, aku hanya enam bulan di tempat ini.
Seperti
biasa, aku akan mengambil tempat duduk di pojok belakang. Bagi ku itu adalah
tempat yang sangat cocok untuk menghindari tatapan orang – orang. Tapi saat
guru itu masuk, ia menyuruh kami untuk memperkenalkan diri satu per satu di
depan kelas. Ritual macam apa itu, kan mereka yang ingin berkenalan bisa
berkenalan di luar kelas.
Giliran
ku pun tiba, dengan kaki gemertar kulangkahkan kaki ku menuju depan kelas.
Untung saja aku menggunakan rok panjang, jadi kaki ku tidak Nampak bergetar.
Saat ku hadapkan pandangan ku ke teman – teman, aku merasa seperti mereka
menatap ku dengan penuh rasa jijik.
Kenapa
mereka menatap ku seperti itu? Walau ada satu atau dua orang yang merupakan
teman ku sewaktu SMP, tapi bukankah sebagian dari mereka baru melihat wajah ku?
Apa yang salah dengan ku? Aku sama sekali tidak memiliki tampang yang
mengerikan kok.
Rasanya
aku ingin benar – benar lari dari mimbar itu. Tapi, mata ku terfokus pada
jendela di pojok kelas, diluar sana ada Tiara. Tiara bersekolah di sekolah yang
sama dengan ku? Aku benar – benar senang saat itu. Tapi, kenapa dia tidak
sekelas dengan ku? Kalau sekelaskan aku bisa memiliki teman ngobrol di kelas.
Dari
luar Tiara seperti memberikan dukungan untuk ku. Diajukkannya kedua jempolnya
ke arah ku, dan tentunya sambil tersenyum. Ntah kenapa hal sederhana itu mampu
membuat ku percaya diri.
Aku
kembali menatam teman – teman kelas ku dan berkata “Perkenalkan, nama ku Cinta.
Cinta Permata Firdaus” kumulai dengan nama, lalu kujelaskan alamat serta asal
sekolah ku. Aku seperti mendapat semangat dan rasa percaya diri yang tinggi
dari Tiara. Sesekali ku lirik kearah luar, dan disana masih ada Tiara yang
terus mendukung ku.
Tiara…
kamu memang sahabat yang baik, dan aku rasa bahwa aku tidak akan mampu
beradaptasi di Sumatra nanti jika kamu tidak ada.
“Terimakasih…”
itulah kalimat ku untuk mengakhiri perkenalan diri ku. Setelah itu teman –
teman bertepuk tangan untuk ku. Ini adalah kali pertama aku mendapatkan tepuk
tangan dari teman – teman di kelas. Tapi, pandangan ku focus kepada Tiara yang
lompat – lompat kecil bagai anak tupai sambil bertepuk tangan untuk ku.
“Terimakasih
Tiara, ini berkat mu” kata ku dalam hati.
Aku lalu
kembali ke bangku ku dan guru mulai menjelaskan beberapa peraturan sekolah dan
jadwal – jadwal yang harus kami patuhi.
Setelah
perkenalan itu, aku tidak melihat Tiara lagi, mungkin dia di kelas yang jauh
dengan kelas ku. Tapi, sore nanti Tiara pasti akan ke rumah dan aku akan
mengucapkan terimakasih kepadanya. Aku rasa aku benar – benar perlu untuk
mengucapkan terimakasih kepadanya.
“Aku
pulang…” kata ku saat tiba di depan pintu rumah, dan tentu saja tidak ada
orang. Aku langsung ke kamar dan mengganti pakaian lalu merebahkan diri ke tempat
tidur. Dengan seketika aku mampu larut kedalam alam mimpi.
***
Hari ini
akan benar – benar padat. Saya bahkan tidak sempat mengucapkan selamat pagi
pada Cinta. Padahal ini adalah hari pertama dia masuk SMA, tapi ucapan
penyemangatpun tidak saya lontarkan. Yah… saya harus sampai di kantor lebih
pagi hari ini, ada meeting yang harus saya ikuti.
Baru
saja saya tiba di kantor, orang – orang sudah siap di ruang meeting. Dengan
tergesah – gesah, saya menyiapkan materi meeting hari ini. Untung saja si bos
belum masuk ruang meeting, kalau sampai saya keduluan olehnya bisa hancur masa
– masa terakhir ku di kantor ini.
Untunglah
hari itu di kantor berjalan dengan lancar. Saya berusaha mengerjakan semua sisa
tugas saya dengan baik sebelum saya benar – benar meninggalkan kantor ini.
Seperti pesan suami saya sebelumnya.
***
Ah… aku
tertidur rupanya. Lapar sekali. Oh iya… aku belum makan sepulang sekolah tadi.
Aku lalu ke dapur dan membuat telur ceplok. Kulahap makan siang ku dengan penuh
semangat. Setelah habis, kulihat jam dinding menunjukan pukul setengah empat.
Tumben
Tiara belum datang, atau dia sudah di teras seperti biasanya? Kutinggalkan piring
kotor ku di meja makan begitu saja. Ternyata Tiara sudah duduk di teras rumah
sambil membaca buku.
“Kok
nggak manggil aku?” tanya ku pada Tiara.
“Nanti
kamu malah ganggu waktu baca buku ku” jawab Tiara dengan tawa kecil yang
menghiasi wajahnya. Tentu saja Tiara hanya bercanda.
“Yaela…
kalau nggak mau di ganggu, mending kamu baca buku di rumah kamu aja Ra” jawab
ku berpura – pura sewot.
“Iddihh…
Gitu aja ngambek, becanda aja aku. Lagian aku juga baru tiba kok, jadi kamu
tenang aja hehehe” Tiara menyelipkan rambutnya di telinganya, lalu kembali
berkata “gimana tadi di sekolah baru?”
“Oh iya
Ra… kamu di kelas mana sih? Kok aku nggak liat kamu lagi setelah aku perkenalan
di kelas aku itu?” tanya ku pada Tiara.
“Ada
deh… hehehe…” Tiara selalu saja menjawab dengan misterius di timpa dengan
tawanya itu. Tapi, aku merasa dia melalukan itu hanya untuk menghibur ku.
“Gitu
aja nggak mau ngasih tau, pelit amet ih. Ngomong – ngomong thanks yah Ra” aku
lalu tersenyum ke arah Tiara.
“Thanks
untuk apa?” Tiara memasang wajah yang penuh dengan tanda tanya.
“Tadikan
kamu sudah menyemangati aku saat aku memperkenalkan diri di depan kelas. Kamu
tahu tadi aku sangat gemetar… hahaha… tapi setelah melihat mu menyemangati ku
dari luar kelas, aku seperti semangat gitu untuk berbicara. Thanks yah Ra” kata
ku panjang lebar pada Tiara.
Tiara
lalu tersenyum dan berkata “Oh itu… tanpa aku kamu pasti bisa kok. Aku hanya
isengin kamu aja tadi. Tapi liat kamu bicara dengan penuh antusias di depan
kelas, rasanya aku cukup senang sampai lompat – lompah” Tiara lalu menertawai
dirinya sendiri, dia memang terkadang suka aneh. Tapi, aku senang berkawan
dengannya.
Lagi
asik bercerita dengan Tiara, Ibu datang dari kantor.
“Ngapain
di luar Nak?” tanya Ibu.
Pake
nanya lagi, udah jelas ada Tiara di sini. Tapi, mungkin maksud Ibu kenapa aku
tidak mengajak Tiara main ke dalam. Dengan singkat ku jawab “nggak apa – apa
Bu, kami hanya ingin main di sini aja”.
Ibu
seperti terdiam sejenak, lalu Ia berkata “ya sudah, jangan kelamaan di luar
udah mau magrib nih” Ibu lalu menghilang dari pandangan ku.
“Ibu
kamu yah?” tanya Tiara. Dia memang belum pernah bertemu dengan Ibu.
“Iya Ra”
jawab ku.
“Ya
sudah, aku pulang deh, udah mau maghrib juga. Ntar aku dicariin Mama lagi”
pamit Tiara pada ku.
“Iya Ra…
hati – hati di jalan ya” kata ku pada Tiara.
“Ok…
Salam buat Ibu mu” Tiara lalu berlari kecil menyusuri halaman dan hilang di penghujung
jalan.
Aku lalu
masuk ke dalam rumah. Kulihat Ibu sedang duduk di depan tv, aku pun
menyampaikan salam dari Tiara “Bu… salam dari Tiara, dia udah pulang barusan”.
“Tiara
siapa?” tanya Ibu.
“Teman
aku Bu” jawab ku singkat, lalu berjalan menuju kamar ku.
Ku ambil
sebuah novel di rak buku ku. Judulnya Born
Under a Million Shadow karya Andrea Busfield. Aku lalu memfokuskan fikiran
ku pada tulisan – tulisan kecil yang ada pada novel tersebut dan larut dalam
kisahnya.
***
Akhirnya
pekerjaan di kantor selesai juga. Karena saya berangkat sangat pagi, maka
pekerjaan saya selesai lebih cepat dan baiknya saya bisa pulang lebih awal.
Sebenarnya tidak benar – benar awal, hanya saja saya tidak perlu lembur hari
ini. Pukul lima teng saya sudah meninggalkan kantor dan menuju ke rumah.
Cinta
pasti sendang sendiri di rumah. Ah… anak itu, kapan dia bisa bermain seperti
anak – anak remaja pada umumnya? Tidak… tidak… ini semua salah saya, saya yang
terlalu sibuk hingga lupa mengajarinya cara untuk berteman.
Dari
kejauhan saya sudah melihat Cinta sedang duduk di teras rumah. Anak itu
sepertinya sering nongrong di teras masa jam – jam seperti ini. Tapi, dia
seperti sedang asik berbicara. Ah… mungkin saja lagi latihan pidato.
Saat
tiba Cinta sepertinya salah bicara pada ku. Saya menyuruhnya masuk, tapi dia
berkata “Kami hanya ingin bermain disini saja”. Apa maksudnya dengan kami? Saya
sempat terdiam sejenak memikirkan hal tersebut. Tapi, saya mencoba untuk
menghargai me time Cinta. Saya lalu masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri
pada sofa di depan tv.
Saat
mata saya hampir tertutup, Cinta masuk ke dalam rumah. Saat itu, tumben saja
Cinta membuka pertanyaan. Kata dia salah seorang temannya menitip salam untuk
ku. Namanya Tiara, Tiara siapa? Ah… mungkin saja teman baru di sekolahnya yang
baru. Baguslah kalau begitu, berarti Cinta sudah mulai berbaur dengan teman –
temannya.
Ada
sedikit rasa senang saat mengetahui kalau Cinta sudah memiliki teman di sekolah
barunya. Tiba – tiba terbersit di fikiran ku untuk tetap tinggal di Surabaya.
Ah… itu bukan pilihan yang baik. Di Surabaya Cinta hanya memiliki Tiara,
mungkin di Sumatra Cinta akan memiliki Tiara – Tiara yang lain. Semoga saja.
***
0 komentar:
Post a Comment