Tuesday, May 8, 2018

CINTA SEORANG SKIZOFERNIA - KELULUSAN

Assalamualaikum ManTeman 🙇

Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇

Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html



1.      KELULUSAN

Saat itu aku baru saja lulus SMP. Ibu tiba – tiba menjadi Ibu yang sangat berbeda, aku nggak paham kenapa. Tapi, Ibu memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Biasanya, walau kami selalu hidup berpindah – pindah, Ibu selalu mencari pekerjaan baru di kota yang baru.

Bukan hanya itu, Ibu juga seperti berusaha menjadi kawan untuk ku. Apa karena Ibu merasa aku sudah dewasa untuk diajak berteman dengannya? Tapi, aku sudah memiliki teman yang sangat baik dari ku semenjak aku SMP.

Namanya Tiara, aku nggak tahu dia sekolah dimana. Tapi dia selalu datang ke rumah ku di sore hari dan bercanda ria dengan ku. Tiara sangat baik dan aku rasa, aku nggak pernah memiliki teman sebaik Tiaran.

Hari itu adalah hari pengumuman kelulusan di SMP ku. Aku SMP di salah satu SMP Negeri di Kota Surabaya. Dengan nggak begitu semangat, kulangkahkan kaki ku menuju sekolah. Bukan karena aku nggak yakin akan lulus, tapi aku membayangkan sekolah dengan halaman yang ramai dan berisikan mereka yang tidak pernah perduli dengan kehadiran ku.

Satu per satu wali kelas ku membagikan sebuah amplop yang berisikan tulisan “Lulus” atau “Tidak Lulus”. Bagi ku ini hanya permainan guru saja, tentu saja semua tulisannya “Lulus”, karena jika ada yang nggak lulus pastilah nggak akan ada di tengah kami yang berbahagiah dengan kelulusan kami.

Sebenarnya aku hadir di sekolah hanya sekedar formalitas aja. Yah… benar, hanya formalitas. Aku di SMP ini hanya setahun setengah dan aku nggak punya satupun teman dekat, bahkan aku merasa mereka menjauhi ku. Jadi, aku nggak ada alasan untuk menikmati kelulusan ku dengan mereka yang nggak ingin dekat dengan ku.

Setelah mendapatkan amplop itu yang sudah jelas isinya “Lulus”, aku langsung pulang ke rumah, saat itu masih pukul 10.30. Masih terlalu pagi memang, tapi aku lebih memilih untuk pulang dari pada menghabiskan waktu di tengah orang – orang yang tidak pernah mengharapkan kehadiran ku.

“Aku Pulang…” Kata ku singkat saat membuka pintu rumah yang tidak terkunci itu.

Ibu menyambut dengan senyum ramahnya “Kok cepet? Gimana hasilnya?” Ibu memang sudah menjadi Ibu yang ramah dan nggak secuek dulu lagi. Tapi, aku masih menjadi anak yang cuek, ntah kenapa aku tidak pandai menunjukan keramahan ku. Walau sebenarnya aku ingin ramah kepada siapapun.

“Cinta lulus Bu” Begitulah jawaban singkat ku dan langsung ke kamar untuk berganti pakaian. Oh iya… pakaian ku masih bebas dari corat – coret spidol. Tentu saja tidak ada yang ingin menandatangani baju sekolah ku.

Kuganti baju ku dengan pakaian rumah, lalu ku rebahkan badan ku ke atas tempat tidur. Tempat paling nyaman ku rasa. Tanpa tatapan orang yang seakan melihat ku seperti monster. Padahal kalau ku lihat diri ku di cermin, tak ada satupun sisi yang menunjukkan sisi kemonsteran ku. Ntah lah, seperti apa sudut pandang yang orang – orang itu gunakan.

Ternyata mata ku terpejam sejenak saat memikirkan orang – orang yang tidak menyukai ku itu. Aku terbangun karena teriakkan Ibu yang menyuruh ku makan siang. Ah… kok Ibu menjadi Ibu yang rewel sih akhir – akhir ini, aku kan sudah tidak membutuhkan omelannya itu.

Ku langkahkan kaki ku dengan sangat malas ke ruang makan. Ibu sudah menyiapkan makanan untuk kita berdua. Tanpa sepatah kata pun, aku mencoba untuk menghabiskan makanan itu agar bisa cepat kembali ke kamar.

“Kamu nggak ada acara kelulusan dengan teman – teman mu?” kata Ibu ku, sepertinya dia mencoba untuk menghilangkan keheningan itu, dan aku tidak begitu tertarik.

Aku hanya menjawab dengan singkat “Cinta mana punya teman”.

Ibu lalu terdiam sejenak, lalu kembali berkata “Yasudah, Ibu beresin piring kotor dulu” mungkin Ibu juga ingin lari dari keheningan itu. Tapi, bodoh amet. Aku hanya ingin ke kamar secepatnya.

Setelah makan, ntah kenapa aku ingin aja ke teras rumah. Ternyata di sana sudah ada Tiara, aku sangat senang. Yah… hanya kehadiran Tiara lah yang membuat ku senang.

“Loh… sejak kapan di sini ra?” kata ku dengan penuh antusias kepada Tiara.

“Baru aja kok, aku baru abis dari sekolah. Lihatlah!” Tiara memamerkan baju seragamnya yang penuh dengan tanda tangan teman – temannya. Tiara memang selalu bercerita kalau dia punya banyak teman di sekolah, sangat berbeda dengan ku.

“Wah… iya… banyak sekali yang tanda tangan” kata ku dengan takjub. Aku memang selalu takjub dengan semua kisah pertemanan Tiara. Walau dia punya banyak teman, tapi kata dia hanya aku sahabat terbaiknya.

“Kamu mau menandatangani baju ku?” kata Tiara dengan senyum manisnya.

“Tentu saja” kata ku sambil membalas senyumnya.

Tiara lalu mengotak atik tas nya, lalu dia berkata “sepertinya sepidol ku dibawa oleh salah seorang teman ku deh” lalu Tiara tertawa kecil.

“Hahaha… dasar, tunggu sebentar, aku ambil sepidol dulu di kamar” kata ku pada tiara lalu berpaling meninggalkannya.

Saat baru nyampe pintu, Tiara teriak “bawa dengan baju mu sekalian biar ku tanda tangani…”

Aku berhenti sejenak dan berfikir, baju ku masih bersih malu ah sama Tiara. Lalu aku berkata “Tapi…”

Belum selesai aku bicara, Tiara langsung memotong “Aku ingin baju yang bersih yah, baju mu kan ada dua. Aku mau hanya ada tanda tangan ku di baju mu”.

“Baik lah…” Aku tersenyum ke arah Tiara lalu kembali melangkahkan kaki ku menuju kamar.

Ntah dari mana Tiara tahu kalau baju seragam putih ku ada dua. Tapi, terlepas dari itu aku jadi nggak perlu minder lagi kepada Tiara karena menunjukkan baju ku yang bersih tanpa tanda tangan seorang temanpun.

Ku ambil sepidol dari kotak pensil ku, lalu ku tarik baju ku dari gantungan baju di belakang pintu kamar ku. Setelah itu aku berlari kecil menuju teras.

Saat keluar kamar Ibu melihat ku dan berkata “untuk apa baju dan sepidol itu?”

“Ada teman di depan” kata ku singkat lalu meninggalkan Ibu yang mungkin masih dalam tanda tanya tentang sikap ku.

“Ini Ra” kata ku ke Tiara sambil menyerahkan baju ku.

“Tanda tangan di baju ku dulu lah, kan aku yang minta di tandatangin deluan” kata Tiara sambil tertawa kecil.

“Iya deh Iya, di punggung aja yah biar gampang, ada bagian kosong juga tuh” kataku pada Tiara.

“Tserah kamu aja, asal jangan di jidat aku aja hahaha” kata Tiara sambil balik badan. Tiara menghadap ke tiang teras rumah, lalu aku menandatangi bajunya.

Setelah itu Tiara menandatangani baju ku, satu – satunya tanda tangan yang ada di baju ku, tepat di bawah lambing OSIS. Aku senang, ternyata ada satu teman yang mau menanda tangani baju ku.

Aku bercerita panjang lebar dengan Tiara setelah itu, termaksud mengenai SMA yang ingin kita masukkin. Kata Tiara ingin merahasiakan sekolahnya. Sama seperti waktu SMP, Tiara tidak pernah mau memberitahu sekolahnya.

Sedangkan aku, aku akan lanjut di SMA swata aja. Karena saat sekitaran semester kedua aku akan pindah ke Kalimantan. Itu kata Ibu sih, tapi memang sudah direncanakan dengan Ayah. Tiara Nampak sedih, tapi dia bilang akan coba berbicara dengan orang tuanya agar dia bisa menyusulku. Benar – benar sahabat yang baik.
***

Kapal itu akhirnya sandar juga. Beberapa saat setelah kapal itu sandar, dari kejauhan saya melihat Ayah Cinta. Saya harus menunggunya mengurus beberapa hal barulah kita bisa bertemu.

“Cinta Bang…” kata ku membuka percakapan serius di sebuah tempat makan tidak jauh dari pelabuhan.

“Ada apa dengan Cinta?” tanya Suami saya.

“Beberapa hari yang lalu saya di panggil oleh gurunya di sekolah” saya mencoba menjelaskan mengenai Cinta yang kerap terlihat aneh dan kurang bersosialisasi di sekolah.

“Wali kelasnya?” Ayah Cinta terlihat begitu penasaran.

Saya lalu menjelaskan panjang lebar “bukan… dia adalah guru bimbingan konseling sekaligus psikolog sekolah itu. Katanya Cinta sangat kurang bersosialisasi dengan teman – temannya, selain itu dari beberapa teman diketahui kalau Cinta sering berbicara sendiri. Hal tersebut memang tidak mempengaruhi prestasi Cinta di sekolah, tapi guru itu tampak perduli dengan Cinta. Saya sebagai Ibu yang tidak menyadari hal itupun merasa kurang berguna” kalimat – kalimat itu keluar begitu saja. Yah… memang hanya kepada suamilah saya bisa melampiaskan emosi saya yang sebenarnya.

“Kenapa baru disampaikan sekarang? Bukannya Cinta sudah tidak aktif lagi dan tinggal menunggu kelulusan saja?” Tanya Ayah Cinta.

Lalu saya berkata “sebenarnya guru itu sudah berkali – kali mencoba untuk membuat janji bertemu dengan saya. Tapi kamu tahu sendirilah Bang, kerjaan di kantor sulit untuk saya tinggalkan. Dan barulah kemarin itu saya memiliki waktu untuk bertemu dengan beliau. Bukan masalah dengan pendidikan Cinta sebenarnya, karena hal tersebut memang tidak mengganggu prestasi belajar Cinta di sekolah. Tapi, diusia remaja Cinta tanpa teman itu hal yang tidak baik juga. Intinya Cinta sepertinya butuh perhatian lebih Bang…”

Ayah Cinta menegung kopi di hadapannya lalu berkata “kamu benar, sepertinya kita terlalu sibuk dengan aktivitas kita masing – masing. Belum lagi Doni dan Farid sudah sibuk dengan keluarganya masing – masing. Mereka juga sudah jarang ke Surabaya. Apa ada baiknya kalau kamu menemani Cinta di rumah?”

Sayapun menjawab “saya sudah berfikir seperti itu, dan memang itu yang ingin saya diskusikan dengan mu Bang. Saya juga berfikir ada baiknya kalau saya kembali menetap di Sumatra dengan Cinta. Bukan maksud untuk membiarkan mu jauh dari kami, tapi dengan tinggal di Sumatra setidaknya Cinta bisa bertemu dengan teman – temannya dulu dan saya bisa membuka usaha kecil – kecilan di rumah” .

Ayah Cinta menganggukan kepala beberapa kali “benar juga, lagi pula rumah di Sumatra juga biar tidak kosong. Tapi, untuk pindah di sana kamu harus menyelesaikan pekerjaan mu dan jangan meninggalkan beban untuk orang – orang di kantor mu” sikap disiplin Ayah Cinta mulai keluar.

Saya lalu tersenyum akan tingkah yang selalu saya kagumi itu “tentu saja, pekerjaan di kantor akan selesai tiga bulan lagi karena masih ada project yang harus saya urus. Setelah itu akan saya ajukan permohonan cuti untuk sebulan setelahnya. Kira – kira enam bulan lagi saya dan Cinta pindah agar Cinta bisa pindah di semester ke dua di SMAnya nanti”.

“Baiklah, tak ada masalah lagi kan?” tanya Ayah Cinta.

“Iya” kata saya, lalu kami melakukan beberapa percakapan ringan mengenai pelayaran Ayah Cinta.

Ayah Cinta hanya dua hari di Surabaya dan harus kembali melakukan tugasnya. Yah… seperti itulah kehidupan saya dengan suami. Tapi, dia mampu mengarahkan saya ke arah yang lebih baik dan saya sangat suka dengan sikapnya yang disiplin dan selalu mendukung saya. Dan saya merasa lebih dari cukup memilikinya yang seperti sekarang. Walau kami jarang bertemu, tapi di setiap kehadirannya selalu membawa ketenangan untuk saya.

Pagi di hari kelulusan Cinta, sepertinya ini adalah pagi pertama saya memperhatikan Cinta yang berangkat ke sekolah. Memang, tak ada aura semangat dari diri Cinta. Ibu macam apa saya yang tidak menyadari hal tersebut.

“Empat bulan lagi Ibu resign dari kerjaan dan di semester dua SMA nanti kita akan pindah ke Sumatra” saya mencoba untuk menjelaskan kepada Cinta mengenai rencana yang sudah saya susun dengan suami. Saat itu kami sedang menikmati sarapan pagi.

“Iya…” jawab Cinta dengan singkat, Cinta lalu menghabiskan suapan terakhirnya lalu berkata “Cinta pergi dulu Bu”.

Saya menjawab “Iya hati – hati Nak”.

Cinta lalu menghilang dari pandangan saya. Hari itu saya mengambil cuti karena ingin memperhatikan keseharian Cinta. Setelah Cinta pergi, saya hanya melakukan pekerjaan – pekerjaan rumah seperti ibu – ibu pada umumnya.

Masih kurang dari jam 11 siang Cinta sudah pulang dengan pakaian yang bersih tanpa coretan. Saya tahu Cinta pasti lulus. Ternyata benar kata guru itu kalau Cinta benar – benar kurang bergaul dengan teman – temannya.

Jelas saja saya merasa sedih, saya merasa benar – benar gagal mendidik Cinta. Saya terlalu sibuk dengan karir saya, padahal dengan gaji Ayah Cinta kami sudah bisa hidup lebih dari cukup.

Siang itu saya berinisiatif untuk memasak makan siang untuk Cinta. Saya jarang melakukan ini, karena biasanya di jam – jam seperti ini saya sedang sibuk – sibuknya di kantor. Ntah apa yang dilakukan Cinta di kamarnya, mungkin tidur.

“Cinta… Cinta… makan dulu Nak” teriak saya saat setelah mengatur makanan di meja makan agar Cinta keluar kamar dan ikut makan bersama saya.

Beberapa menit kemudian Cinta keluar kamar dengan tidak menggunakan seragam sekolah itu lagi. Kami lalu duduk dalam satu meja, hanya ada saya dan anak bungsu saya. Tapi suasananya begitu hening.

Saya mencoba untuk melakukan percakapan riangan. Tapi, Cinta menjawabnya dengan dingin. Saya makin merasa bodoh sebagai Ibu, bahkan untuk membuat anak sendiri bercerita panjang lebar dengan saya tidak bisa saya lakukan.

Saya akhirnya memutuskan untuk mencuci piring – piring kotor di dapur dan membiarkan Cinta makan sendiri. Setelah selesai mencuci piring Cinta sudah tidak di meja makan.

Saya lalu duduk di depan tv, dari situ saya bisa melihat Cinta sedang berdiri di teras menghadap jalanan. Saya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang anak itu lakukan. Sayapun memutuskan untuk menonton beberapa siaran tv yang tidak begitu saya pahami.

Beberapa saat kemudian Cinta masuk ke kamar, lalu keluar lagi dengan spidol dan baju seragam sekolahnya. Saat ku tanyakan benda – benda itu untuk apa, dia hnya berkata kalau di depan ada teman. Cinta ada teman? Syukurlah, saya turut senang mendengarnya. Tapi, saya tidak melihat ada temannya di depan. Ah… mungkin terhalang gorden ruang tamu.

Itu hanya urusan anak – anak dan saya tidak merasa perlu untuk ikut campur. Paling Cinta hanya meminta temannya untuk menandatangani baju seragamnya. Dulu di jaman saya, mana ada yang seperti itu. Bahkan kakak – kakak Cinta hanya melakukan ritual coret – coret baju di masa SMA saja. Mungkin karena perkembangan zaman anak SMP pun sudah ikut – ikutan hal demikian. Menurut ku tidak masalah, anggap saja itu media kreatif anak – anak untuk mengaplikasikan kebahagiaan mereka.

Cukup lama Cinta di teras, mungkin dia benar – benar asik dengan temannya itu. Karena penasaran, saya memutuskan untuk menengoknya keluar.

“Teman kamu mana?” tanya saya kepada Cinta yang sudah akan masuk ke dalam rumah.

“Baru aja pergi Bu…” jawab Cinta lalu membawa baju seragam dan spidolnya masuk ke dalam kamarnya.

Saya masih di teras lalu melihat – lihat halaman yang sunyi itu. Perumahan ini memang sunyi di siang hari. Namun, di soreh hari ada beberapa penjual makanan yang lalu lalang.

Selagi menikmati suasana siang itu, tiba – tiba pandangan saya focus kepada tiang teras. Ada sebuah coretan seperti tanda tangan. Setelah saya perhatikan, di bawah tanda tangan itu ada tulisan “Cinta Permata Firdaus”. Ini tanda tangan Cinta? Kenapa dia mengotori tiang ini? Ah.. sudahlah, saya tidak ingin memarahinya. Lagi pula enam bulan lagi kami akan meninggalkan rumah ini.
***

Share:

0 komentar:

Post a Comment