Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇
Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html
1.
KELULUSAN
Saat itu
aku baru saja lulus SMP. Ibu tiba – tiba menjadi Ibu yang sangat berbeda, aku
nggak paham kenapa. Tapi, Ibu memutuskan untuk tidak bekerja lagi. Biasanya,
walau kami selalu hidup berpindah – pindah, Ibu selalu mencari pekerjaan baru
di kota yang baru.
Bukan
hanya itu, Ibu juga seperti berusaha menjadi kawan untuk ku. Apa karena Ibu
merasa aku sudah dewasa untuk diajak berteman dengannya? Tapi, aku sudah
memiliki teman yang sangat baik dari ku semenjak aku SMP.
Namanya
Tiara, aku nggak tahu dia sekolah dimana. Tapi dia selalu datang ke rumah ku di
sore hari dan bercanda ria dengan ku. Tiara sangat baik dan aku rasa, aku nggak
pernah memiliki teman sebaik Tiaran.
Hari itu
adalah hari pengumuman kelulusan di SMP ku. Aku SMP di salah satu SMP Negeri di
Kota Surabaya. Dengan nggak begitu semangat, kulangkahkan kaki ku menuju
sekolah. Bukan karena aku nggak yakin akan lulus, tapi aku membayangkan sekolah
dengan halaman yang ramai dan berisikan mereka yang tidak pernah perduli dengan
kehadiran ku.
Satu per
satu wali kelas ku membagikan sebuah amplop yang berisikan tulisan “Lulus” atau
“Tidak Lulus”. Bagi ku ini hanya permainan guru saja, tentu saja semua
tulisannya “Lulus”, karena jika ada yang nggak lulus pastilah nggak akan ada di
tengah kami yang berbahagiah dengan kelulusan kami.
Sebenarnya
aku hadir di sekolah hanya sekedar formalitas aja. Yah… benar, hanya
formalitas. Aku di SMP ini hanya setahun setengah dan aku nggak punya satupun
teman dekat, bahkan aku merasa mereka menjauhi ku. Jadi, aku nggak ada alasan
untuk menikmati kelulusan ku dengan mereka yang nggak ingin dekat dengan ku.
Setelah mendapatkan amplop itu yang sudah
jelas isinya “Lulus”, aku langsung pulang ke rumah, saat itu masih pukul 10.30.
Masih terlalu pagi memang, tapi aku lebih memilih untuk pulang dari pada
menghabiskan waktu di tengah orang – orang yang tidak pernah mengharapkan
kehadiran ku.
“Aku
Pulang…” Kata ku singkat saat membuka pintu rumah yang tidak terkunci itu.
Ibu
menyambut dengan senyum ramahnya “Kok cepet? Gimana hasilnya?” Ibu memang sudah
menjadi Ibu yang ramah dan nggak secuek dulu lagi. Tapi, aku masih menjadi anak
yang cuek, ntah kenapa aku tidak pandai menunjukan keramahan ku. Walau
sebenarnya aku ingin ramah kepada siapapun.
“Cinta
lulus Bu” Begitulah jawaban singkat ku dan langsung ke kamar untuk berganti
pakaian. Oh iya… pakaian ku masih bebas dari corat – coret spidol. Tentu saja
tidak ada yang ingin menandatangani baju sekolah ku.
Kuganti
baju ku dengan pakaian rumah, lalu ku rebahkan badan ku ke atas tempat tidur.
Tempat paling nyaman ku rasa. Tanpa tatapan orang yang seakan melihat ku
seperti monster. Padahal kalau ku lihat diri ku di cermin, tak ada satupun sisi
yang menunjukkan sisi kemonsteran ku. Ntah lah, seperti apa sudut pandang yang
orang – orang itu gunakan.
Ternyata
mata ku terpejam sejenak saat memikirkan orang – orang yang tidak menyukai ku
itu. Aku terbangun karena teriakkan Ibu yang menyuruh ku makan siang. Ah… kok
Ibu menjadi Ibu yang rewel sih akhir – akhir ini, aku kan sudah tidak
membutuhkan omelannya itu.
Ku
langkahkan kaki ku dengan sangat malas ke ruang makan. Ibu sudah menyiapkan
makanan untuk kita berdua. Tanpa sepatah kata pun, aku mencoba untuk
menghabiskan makanan itu agar bisa cepat kembali ke kamar.
“Kamu
nggak ada acara kelulusan dengan teman – teman mu?” kata Ibu ku, sepertinya dia
mencoba untuk menghilangkan keheningan itu, dan aku tidak begitu tertarik.
Aku
hanya menjawab dengan singkat “Cinta mana punya teman”.
Ibu lalu
terdiam sejenak, lalu kembali berkata “Yasudah, Ibu beresin piring kotor dulu”
mungkin Ibu juga ingin lari dari keheningan itu. Tapi, bodoh amet. Aku hanya
ingin ke kamar secepatnya.
Setelah
makan, ntah kenapa aku ingin aja ke teras rumah. Ternyata di sana sudah ada
Tiara, aku sangat senang. Yah… hanya kehadiran Tiara lah yang membuat ku
senang.
“Loh…
sejak kapan di sini ra?” kata ku dengan penuh antusias kepada Tiara.
“Baru
aja kok, aku baru abis dari sekolah. Lihatlah!” Tiara memamerkan baju
seragamnya yang penuh dengan tanda tangan teman – temannya. Tiara memang selalu
bercerita kalau dia punya banyak teman di sekolah, sangat berbeda dengan ku.
“Wah…
iya… banyak sekali yang tanda tangan” kata ku dengan takjub. Aku memang selalu
takjub dengan semua kisah pertemanan Tiara. Walau dia punya banyak teman, tapi
kata dia hanya aku sahabat terbaiknya.
“Kamu
mau menandatangani baju ku?” kata Tiara dengan senyum manisnya.
“Tentu
saja” kata ku sambil membalas senyumnya.
Tiara
lalu mengotak atik tas nya, lalu dia berkata “sepertinya sepidol ku dibawa oleh
salah seorang teman ku deh” lalu Tiara tertawa kecil.
“Hahaha…
dasar, tunggu sebentar, aku ambil sepidol dulu di kamar” kata ku pada tiara
lalu berpaling meninggalkannya.
Saat
baru nyampe pintu, Tiara teriak “bawa dengan baju mu sekalian biar ku tanda
tangani…”
Aku
berhenti sejenak dan berfikir, baju ku masih bersih malu ah sama Tiara. Lalu
aku berkata “Tapi…”
Belum
selesai aku bicara, Tiara langsung memotong “Aku ingin baju yang bersih yah,
baju mu kan ada dua. Aku mau hanya ada tanda tangan ku di baju mu”.
“Baik
lah…” Aku tersenyum ke arah Tiara lalu kembali melangkahkan kaki ku menuju
kamar.
Ntah
dari mana Tiara tahu kalau baju seragam putih ku ada dua. Tapi, terlepas dari
itu aku jadi nggak perlu minder lagi kepada Tiara karena menunjukkan baju ku
yang bersih tanpa tanda tangan seorang temanpun.
Ku ambil
sepidol dari kotak pensil ku, lalu ku tarik baju ku dari gantungan baju di
belakang pintu kamar ku. Setelah itu aku berlari kecil menuju teras.
Saat
keluar kamar Ibu melihat ku dan berkata “untuk apa baju dan sepidol itu?”
“Ada
teman di depan” kata ku singkat lalu meninggalkan Ibu yang mungkin masih dalam
tanda tanya tentang sikap ku.
“Ini Ra”
kata ku ke Tiara sambil menyerahkan baju ku.
“Tanda
tangan di baju ku dulu lah, kan aku yang minta di tandatangin deluan” kata
Tiara sambil tertawa kecil.
“Iya deh
Iya, di punggung aja yah biar gampang, ada bagian kosong juga tuh” kataku pada
Tiara.
“Tserah
kamu aja, asal jangan di jidat aku aja hahaha” kata Tiara sambil balik badan.
Tiara menghadap ke tiang teras rumah, lalu aku menandatangi bajunya.
Setelah
itu Tiara menandatangani baju ku, satu – satunya tanda tangan yang ada di baju
ku, tepat di bawah lambing OSIS. Aku senang, ternyata ada satu teman yang mau
menanda tangani baju ku.
Aku
bercerita panjang lebar dengan Tiara setelah itu, termaksud mengenai SMA yang
ingin kita masukkin. Kata Tiara ingin merahasiakan sekolahnya. Sama seperti
waktu SMP, Tiara tidak pernah mau memberitahu sekolahnya.
Sedangkan
aku, aku akan lanjut di SMA swata aja. Karena saat sekitaran semester kedua aku
akan pindah ke Kalimantan. Itu kata Ibu sih, tapi memang sudah direncanakan
dengan Ayah. Tiara Nampak sedih, tapi dia bilang akan coba berbicara dengan
orang tuanya agar dia bisa menyusulku. Benar – benar sahabat yang baik.
***
Kapal
itu akhirnya sandar juga. Beberapa saat setelah kapal itu sandar, dari kejauhan
saya melihat Ayah Cinta. Saya harus menunggunya mengurus beberapa hal barulah
kita bisa bertemu.
“Cinta
Bang…” kata ku membuka percakapan serius di sebuah tempat makan tidak jauh dari
pelabuhan.
“Ada apa
dengan Cinta?” tanya Suami saya.
“Beberapa
hari yang lalu saya di panggil oleh gurunya di sekolah” saya mencoba
menjelaskan mengenai Cinta yang kerap terlihat aneh dan kurang bersosialisasi
di sekolah.
“Wali
kelasnya?” Ayah Cinta terlihat begitu penasaran.
Saya
lalu menjelaskan panjang lebar “bukan… dia adalah guru bimbingan konseling
sekaligus psikolog sekolah itu. Katanya Cinta sangat kurang bersosialisasi
dengan teman – temannya, selain itu dari beberapa teman diketahui kalau Cinta
sering berbicara sendiri. Hal tersebut memang tidak mempengaruhi prestasi Cinta
di sekolah, tapi guru itu tampak perduli dengan Cinta. Saya sebagai Ibu yang
tidak menyadari hal itupun merasa kurang berguna” kalimat – kalimat itu keluar
begitu saja. Yah… memang hanya kepada suamilah saya bisa melampiaskan emosi
saya yang sebenarnya.
“Kenapa
baru disampaikan sekarang? Bukannya Cinta sudah tidak aktif lagi dan tinggal
menunggu kelulusan saja?” Tanya Ayah Cinta.
Lalu
saya berkata “sebenarnya guru itu sudah berkali – kali mencoba untuk membuat
janji bertemu dengan saya. Tapi kamu tahu sendirilah Bang, kerjaan di kantor
sulit untuk saya tinggalkan. Dan barulah kemarin itu saya memiliki waktu untuk
bertemu dengan beliau. Bukan masalah dengan pendidikan Cinta sebenarnya, karena
hal tersebut memang tidak mengganggu prestasi belajar Cinta di sekolah. Tapi,
diusia remaja Cinta tanpa teman itu hal yang tidak baik juga. Intinya Cinta
sepertinya butuh perhatian lebih Bang…”
Ayah
Cinta menegung kopi di hadapannya lalu berkata “kamu benar, sepertinya kita
terlalu sibuk dengan aktivitas kita masing – masing. Belum lagi Doni dan Farid
sudah sibuk dengan keluarganya masing – masing. Mereka juga sudah jarang ke
Surabaya. Apa ada baiknya kalau kamu menemani Cinta di rumah?”
Sayapun
menjawab “saya sudah berfikir seperti itu, dan memang itu yang ingin saya
diskusikan dengan mu Bang. Saya juga berfikir ada baiknya kalau saya kembali
menetap di Sumatra dengan Cinta. Bukan maksud untuk membiarkan mu jauh dari
kami, tapi dengan tinggal di Sumatra setidaknya Cinta bisa bertemu dengan teman
– temannya dulu dan saya bisa membuka usaha kecil – kecilan di rumah” .
Ayah
Cinta menganggukan kepala beberapa kali “benar juga, lagi pula rumah di Sumatra
juga biar tidak kosong. Tapi, untuk pindah di sana kamu harus menyelesaikan
pekerjaan mu dan jangan meninggalkan beban untuk orang – orang di kantor mu”
sikap disiplin Ayah Cinta mulai keluar.
Saya
lalu tersenyum akan tingkah yang selalu saya kagumi itu “tentu saja, pekerjaan
di kantor akan selesai tiga bulan lagi karena masih ada project yang harus saya
urus. Setelah itu akan saya ajukan permohonan cuti untuk sebulan setelahnya.
Kira – kira enam bulan lagi saya dan Cinta pindah agar Cinta bisa pindah di
semester ke dua di SMAnya nanti”.
“Baiklah,
tak ada masalah lagi kan?” tanya Ayah Cinta.
“Iya”
kata saya, lalu kami melakukan beberapa percakapan ringan mengenai pelayaran
Ayah Cinta.
Ayah
Cinta hanya dua hari di Surabaya dan harus kembali melakukan tugasnya. Yah…
seperti itulah kehidupan saya dengan suami. Tapi, dia mampu mengarahkan saya ke
arah yang lebih baik dan saya sangat suka dengan sikapnya yang disiplin dan
selalu mendukung saya. Dan saya merasa lebih dari cukup memilikinya yang
seperti sekarang. Walau kami jarang bertemu, tapi di setiap kehadirannya selalu
membawa ketenangan untuk saya.
Pagi di
hari kelulusan Cinta, sepertinya ini adalah pagi pertama saya memperhatikan
Cinta yang berangkat ke sekolah. Memang, tak ada aura semangat dari diri Cinta.
Ibu macam apa saya yang tidak menyadari hal tersebut.
“Empat
bulan lagi Ibu resign dari kerjaan dan di semester dua SMA nanti kita akan
pindah ke Sumatra” saya mencoba untuk menjelaskan kepada Cinta mengenai rencana
yang sudah saya susun dengan suami. Saat itu kami sedang menikmati sarapan
pagi.
“Iya…”
jawab Cinta dengan singkat, Cinta lalu menghabiskan suapan terakhirnya lalu
berkata “Cinta pergi dulu Bu”.
Saya
menjawab “Iya hati – hati Nak”.
Cinta
lalu menghilang dari pandangan saya. Hari itu saya mengambil cuti karena ingin
memperhatikan keseharian Cinta. Setelah Cinta pergi, saya hanya melakukan
pekerjaan – pekerjaan rumah seperti ibu – ibu pada umumnya.
Masih
kurang dari jam 11 siang Cinta sudah pulang dengan pakaian yang bersih tanpa
coretan. Saya tahu Cinta pasti lulus. Ternyata benar kata guru itu kalau Cinta
benar – benar kurang bergaul dengan teman – temannya.
Jelas
saja saya merasa sedih, saya merasa benar – benar gagal mendidik Cinta. Saya
terlalu sibuk dengan karir saya, padahal dengan gaji Ayah Cinta kami sudah bisa
hidup lebih dari cukup.
Siang
itu saya berinisiatif untuk memasak makan siang untuk Cinta. Saya jarang
melakukan ini, karena biasanya di jam – jam seperti ini saya sedang sibuk –
sibuknya di kantor. Ntah apa yang dilakukan Cinta di kamarnya, mungkin tidur.
“Cinta…
Cinta… makan dulu Nak” teriak saya saat setelah mengatur makanan di meja makan
agar Cinta keluar kamar dan ikut makan bersama saya.
Beberapa
menit kemudian Cinta keluar kamar dengan tidak menggunakan seragam sekolah itu
lagi. Kami lalu duduk dalam satu meja, hanya ada saya dan anak bungsu saya. Tapi
suasananya begitu hening.
Saya
mencoba untuk melakukan percakapan riangan. Tapi, Cinta menjawabnya dengan
dingin. Saya makin merasa bodoh sebagai Ibu, bahkan untuk membuat anak sendiri
bercerita panjang lebar dengan saya tidak bisa saya lakukan.
Saya akhirnya
memutuskan untuk mencuci piring – piring kotor di dapur dan membiarkan Cinta
makan sendiri. Setelah selesai mencuci piring Cinta sudah tidak di meja makan.
Saya
lalu duduk di depan tv, dari situ saya bisa melihat Cinta sedang berdiri di
teras menghadap jalanan. Saya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang
anak itu lakukan. Sayapun memutuskan untuk menonton beberapa siaran tv yang
tidak begitu saya pahami.
Beberapa
saat kemudian Cinta masuk ke kamar, lalu keluar lagi dengan spidol dan baju seragam
sekolahnya. Saat ku tanyakan benda – benda itu untuk apa, dia hnya berkata
kalau di depan ada teman. Cinta ada teman? Syukurlah, saya turut senang
mendengarnya. Tapi, saya tidak melihat ada temannya di depan. Ah… mungkin
terhalang gorden ruang tamu.
Itu
hanya urusan anak – anak dan saya tidak merasa perlu untuk ikut campur. Paling
Cinta hanya meminta temannya untuk menandatangani baju seragamnya. Dulu di
jaman saya, mana ada yang seperti itu. Bahkan kakak – kakak Cinta hanya
melakukan ritual coret – coret baju di masa SMA saja. Mungkin karena
perkembangan zaman anak SMP pun sudah ikut – ikutan hal demikian. Menurut ku
tidak masalah, anggap saja itu media kreatif anak – anak untuk mengaplikasikan
kebahagiaan mereka.
Cukup
lama Cinta di teras, mungkin dia benar – benar asik dengan temannya itu. Karena
penasaran, saya memutuskan untuk menengoknya keluar.
“Teman
kamu mana?” tanya saya kepada Cinta yang sudah akan masuk ke dalam rumah.
“Baru
aja pergi Bu…” jawab Cinta lalu membawa baju seragam dan spidolnya masuk ke
dalam kamarnya.
Saya
masih di teras lalu melihat – lihat halaman yang sunyi itu. Perumahan ini
memang sunyi di siang hari. Namun, di soreh hari ada beberapa penjual makanan
yang lalu lalang.
Selagi
menikmati suasana siang itu, tiba – tiba pandangan saya focus kepada tiang
teras. Ada sebuah coretan seperti tanda tangan. Setelah saya perhatikan, di
bawah tanda tangan itu ada tulisan “Cinta Permata Firdaus”. Ini tanda tangan
Cinta? Kenapa dia mengotori tiang ini? Ah.. sudahlah, saya tidak ingin memarahinya.
Lagi pula enam bulan lagi kami akan meninggalkan rumah ini.
***
0 komentar:
Post a Comment