Aku mau ngelanjutin cerita yang judulnya "Cinta Seorang Skizofernia". Tapi, bagi ManTeman yang belum baca tulisan saya sebelumnya, ada baiknya di baca dulu biar paham alur ceritanya 😊 Link nya ada di bawah ini yahh 👇👇👇
Prolog 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-prolog.html
1. Kelulusan 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-kelulusan.html
2. SMA 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-sma.html
3. Persiapan Pindahan 👉 https://catatanaanakrantau.blogspot.co.id/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-persiapan.html?showComment=1527177845795#c1682519686773399213
4. Pindahan 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.com/2018/05/cinta-seorang-skizofernia-pindahan.html
5. Sekolah Baru 👉http://catatanaanakrantau.blogspot.com/2018/06/cinta-seorang-skizofernia-sekolah-baru.html?m=1
6. Ibu Penjaga UKS 👉 http://catatanaanakrantau.blogspot.com/2018/06/cinta-seorang-skizofernia-ibu-penjaga.html?m=1
7. TUKANG
KEBUN SEKOLAH
Hari itu
langit sedang mendung, ntah kenapa ingin saja duduk di depan kelas saat bel istirahat
berbunyi.
Saat aku
mencoba bangkit dari bangku ku, Toni langsung berkata “tumben… ke kantin yah?”
semenjak aku menceritakan tentang Ibu penjaga UKS dia memang jadi sering
berbincang dengan ku.
“Nggak
ku, ke depan kelas aja” jawab ku.
“Ngapain?
Ke kantin aja yok” ajak Toni.
“Nggak
ah… rame” jawab ku singkat “aku ke depan dulu yah”.
“Yaudah,
aku ke kantin kalau gitu” kata Toni dengan kekecewaannya.
Aku lalu
berjalan ke depan kelas. Kulihat sekeliling sekolah, banyak sekali anak yang
lalu – lalang di sana. Aku lalu duduk di kursi panjang menghadap ke lapangan.
Dari
sekian banyak orang yang berlalu lalang di lapangan itu, mata ku terfokus pada
bapak – bapak setengah baya yang sedang memegang celurit. Siapa bapak itu? Apa
tukang kebun sekolah? Aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut.
Aku
masih saja focus melihat bapak itu memotong rumput. Mungkin marena sadar ada
yang memperhatikan, bapak itu langsung memandang ke arah ku. Matanya memplototi
ku dan hal itu benar – benar membuat aku takut. Aku berusaha untuk tidak
melihatnya lagi, tapi saat kuarahkan mata ku ke arahnya dia sedang berjalan ke
arah ku. Apa dia marah karena ku perhatikan? Aku tiba – tiba ketakutan.
“Hey
Cin...” suara Toni mengagetkan ku.
“Ke…
kenapa?” tanya ku dengan terbata – bata.
“Kamu yang
kenapa? Ngelamun aja” kata Toni.
“Nggak
Ton…” jawab ku, aku lalu melihat kea rah Bapak tadi. Tapi dia sudah pergi ke
arah yang berlawanan. Mungkin karena kehadiran Toni.
“Yuk
masuk, udah bell tuh” ajak Toni.
Saking
asiknya aku memperhatikan tukang kebun itu, aku sampai tidak mendengar bunyi
bell sedikitpun. “Yuk” kata ku ke Toni, kami lalu masuk ke dalam kelas.
Fikiran
ku masih pada Bapak tukang kebun itu dan itu sukses membuat ku tidak focus pada
jam pelajaran terakhir ini.
Karena
tidak focus, aku jadi terlambat mengerjakan tugas, terpaksa tuga teman – teman
ku di kumpul di meja dan aku yang akan mengantarkannya ke ruang guru. Saat itu
sekolah udah mulai sepi dan aku masih mengerjakan tugas ditemani Toni.
“Masih
lama yah Cin?” tanya Toni.
“Dikit
lagi Ton, kamu kalau mau pulang deluan nggak apa – apa kok” jawab ku.
“Nggak
lah, aku nungguin kok. Tapi aku ke kantin bentar yah. Haus nih. Kamu mau nitip
nggak?” tanya Toni.
“Aqua
aja deh” jawab ku. Toni lalu meninggalkan ku sendiri di kelas.
Akhirnya
selesai juga. Ku gabung tugas ku dengan tugas teman – teman. Tapi, Toni belum
balik juga. Sudahlah, aku lalu mengantarkan tugas itu ke ruang guru. Tas masih
ku tinggal di kelas agar Toni tahu kalau aku belum pulang.
Ruang
gurupun sudah sepi. Kuletakkan tugas kami di atas meja salah seorang guru.
Setelah itu aku langsung keluar dari ruangan itu.
Saat
menutup pintu ruang guru, aku melihat Bapak tukang kebun itu lagi. Saat ini dia
membawa sebuah pisau. Apa yang diinginkannya? Dengan cepat dia berjalan ke arah
ku, aku semakin takut dibuatnya.
Kaki ku
bergetar hingga sulit rasanya untuk berlari. Ku kumpulkan seluruh tenaga ku dan
berlari sebisa yang aku bisa. Bapak itu juga semakin cepat dan langkah cepatnya
itu berubah jadi lari.
Aku
benar – benar takut. Aku tidak tahu apa yang diinginkan Bapak itu. Tapi, tak
ada satupun orang di situ dan Bapak itu membawa pisau. Jika terjadi apa – apa,
tak ada seorangpun yang bisa membantu ku.
Aku
hanya berusaha lari sekuat tenaga kea rah kelas dengan harapan sudah ada Toni
di sana. Saat tiba di kelas ternyata Toni belum ada. Ku tutup rapat pintu kelas
dan berharap Bapak itu tidak mengejar ku sampai ke dalam kelas.
“Tok…
Tok… Tok…” suara pintu di ketok dari luar. Apa itu Bapak tukang kebun? Aku
benar – benar takut sampai terdengar sura “Cin… bukalah… ngapain kamulari –
lari di koridor, pake kunci pintu segala lagi” itu suara Toni.
Langsung
saja ku buka pintu dan ternya memang Toni. Aku reflex memeluknya dan menangis. Karena heran, Toni lalu berkata “Loh… kok nangis? Kamu kenapa Cin? Tugasnya ga
diterima yah?”
“Ba…
Bapak… Tu tut tukang… Keb Kebun… it itu” kata ku sambil menangis.
“Tukang
kebun mana? Nggak ada orang kok Cin… udah kamu tenang dulu yah, ini minum dulu”
kata Toni yang berusaha menenangi ku.
Aku lalu
minum dan berusaha menengkan diri.
“Ku
antar pulang yah” kata Toni.
“Makasih
Ton” jawab ku. Mungkin kalau tidak ada Toni Bapak itu duah mengejar ku sampai
ke dalam kelas. Aku benar – benar berhutang budi pada Toni.
***
Selesai
juga, pelajaran Sejarah memang selalu membuat kami mencatata satu buku. Rasanya
guru itu tidak kenal sama yang namanya fotocopy yah. Jari – jari ku sampai
penyok diabuatnya.
“Cin…
udah beres?” tanya ku ke Cinta.
“Duh…
masih banyak Ton. Bilang ke anak – anak biar aku aja yang bawa ke ruang guru”
jawab Cinta. Dari tadi dia memang hanya melamun dan baru mulai menulis.
“Ok deh”
jawab ku ke Cinta. Aku lalu member tahu anak – anak untuk pulang deluan aja
karena bell memang sudah berbunyi.
Satu per
satu anak – anak pulang dan akhirnya tinggal aku dan Cinta saja di dalam kelas
itu. Aku tidak mungkin tega meninggalkan Cinta sendirian dalam kelas itu. Tapi,
disatu sisi aku juga haus.
“Cin…
masih lama yah?” tanya ku ke Cinta. Tapi Cinta malah menyuruh ku untuk pulang
deluan saja dan ku katakan kalau aku hanya ke kantin sebentar untuk membeli
minum. Cinta pun menitip aqua juga pada ku.
Aku lalu
meninggalkan Cinta sendiri di dalam kelas. Kulangkahkan kaki ku menuju kantin.
Sekolah sudah sepi, hanya ada satu dua orang anak yang juga hendak pulang.
Saat aku
tiba di kantin ternyata kantinpun sudah tutup. Akhirnya aku memutuskan untuk ke
swalayan di depan sekolah. “Apa Cinta tidak apa – apa jika ku tinggal sendiri?”
fikiran itu masuk begitu saja dalam otak ku. Tapi, tak ada yang perlu
ditakutkan di sekolah ini. Aku lalu melanjutkan perjalanan ku.
Cukup
lama aku meninggalkan Cinta, aku hanya berharap dia belum pulang saja. Jarak
antara swalayan memang tidak terlalu jauh, tapi itu cukup memakan waktu juga
dibandingkan aku ke kantin.
Saat
hampir sampai di depan kelas, kulihat Cinta sedang berlari ketakutan. Apa yang
terjadi padanya? Cinta masuk ke dalam kelas dan pintu kelas langsung di kunci.
Aku benar – benar penasaran.
Kupercepat
langkah ku menuju kelas dan mengetok pintu kelas. Pintu baru dibuka saat aku
berbicara. Saat pintu di buka, Cinta langsung memeluk ku dan menangis. Kenapa
Cinta menangis? Aku semakin bingung dan tidak tahu apa yang mesti aku lakukan
dengan kondisi seperti itu.
Aku
berusaha menenangkannya, tapi dia berkata Bapak
Tukang Kebun? Mana ada tukang kebun di sekolah kami? Karena tidak ingin
membuatnya semakin panic, aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.
Aku
membantunya membereskan barang – barangnya dan kamipun meninggalkan kelas itu.
Sepanjang perjalanan menuju gerbang. Cinta benar – benar terlihat ketakutan.
Saat keluar dari lingkungan sekolah, barulah Cinta terlihat sedikit tenang.
***
0 komentar:
Post a Comment